Ketika Kejujuran menjadi Barang Langka

Di sebuah proses penseleksian pegawai baru bagian keuangan memasuki tahap wawancara, dimana setiap empat finalis peserta seleksi akan berhadapan dengan beberapa pimpinan dari instansi tersebut. Terjadilah dialog tersebut :

Pewawancara    : “Saudara-saudara, bagamana cara saudara membuat laporan pada kami di manajemen bila dalam rencana anggaran kegiatannya tertulis 10 juta rupiah”.

Peserta A (dengan semangat dan penuh motivasi) : “Saya akan buat laporan secara rinci sesuai dengan rencana anggaran dan hasil dari kegiatan, pak”.

Pewawancara    : “Maaf…saudara A, Anda tidak masuk ke dalam kriteria kami”. (Katakan saja…ah terlalu lugu untuk dipekerjakan…). “Ya, bagaimana dengan saudara B?”.

Peserta B (belajar dari peserta A)             : “Begini Bapak, saya akan membuat laporan bahwa biaya pelaksanaan kegiatan kekurangan dana, sehingga saya coba buat melebihi dari rencana anggaran yang ada, Bapak”.

Pewawancara    : “O…o,o,o…, Anda kurang cocok, Anda sangat boros sekali…”. (Katakan saja…ah terlalu fulgar sekali…). “Maaf, Anda belum bisa kerja di instansi ini…, Bagaimana saudara C?”.

Peserta C (belajar dari peserta A dan B) : “Oh…mudah itu pak, kita akan adakan penghematan… sehingga kita memiliki cadangan anggaran yang cukup pada akhir anggaran untuk tahun anggaran berikutnya”

Pewawancara    : “Hmm…Anda cukup pandai…tapi masih kurang cerdas untuk instansi sebesar ini. Kalau terlalu hemat maka anggaran dari pusat untuk instansi ini akan dikurangi pada tahun anggaran berikutnya. Anda belum pas untuk diterima di pos tersebut…maaf”. (Katakan saja…ah ada-ada saja Anda ini). “Ya, terakhir. Saudara D bagaimana pendapatmu?”.

Peserta D (belajar dari tiga peserta sebelumnya)              : “Begini Bapak…, kira-kira Bapak maunya seperti apa, saya siap membuat laporan sesuai dengan manajemen saja…”.

Tim Pewawancara (sambil tersenyum)   : “Baiklah…semua peserta silahkan Anda tunggu pada panggilan berikutnya. Sekiranya ada panggilan berarti Anda diterima di instansi ini. Terima kasih atas waktu Saudara untuk dapat mengikuti tahap demi tahap dari proses seleksi ini…”. (Katakan saja…ah..ini dia pilihannya yang bisa diajak kerjasama…).

Ya…walaupun dialog tersebut fiktif, paling tidak suasana tersebut tidak jauh beda terhadap apa yang terjadi di segala lini kehidupan ini. Harga sebuah kejujuran menjadi barang langka di zaman sekarang. Kerusakan suatu kaum berawal pula dari masalah ketidakjujuran, ketidak jujuran interaksi, ketidak jujuran terhadap amanah, ketidak jujuran dalam komunikasi. Memang Rasulullah SAW pernah mensinyalir perkara ini dengan menyatakan bahwa di saat akhir zaman (tanda-tanda sebelum terjadinya kiamat) sesudah beliau, akan terjadi orang jujur tidak dipercayai dan orang curang (tidak jujur) diberi kepercayaan. Mengapa? Bisa jadi dalam rangka untuk menyelematkan kekuasaan yang dimilikinya, untuk mengambil harta dari jalur tersebut, untuk melindungi komunitas ketidak jujuran dengan cara mencari orang-orang tidak jujur dalam satu komunitasnya.

Dengan adanya demikian, hakekat sebenarnya adalah mereka tidak paham atau tidak percaya akan adanya akhirat. Atau merasa bahwa tinggal di neraka cuma beberapa hari saja dan selebihnya mendapat ampunan atau tebusan dosa dari yang menebus dosa-dosa mereka. Mereka mencoba untuk selalu curang dalam kehidupannya dan mengambil kesempatan untuk dirinya dengan mengorbankan orang lain. Allah SwT mengingatkan dalam QS. Al Muthaffiffin (83) ayat 1 – 6,”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk (hak) orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar (hari akhir), (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam (untuk mendapat pengadilan dari Yang Maha Adil)?”.

Semoga Allah tetapkan kejujuran dalam diri kita, Amin.
Wallahu a’lam bis Shawwab.

(GoesPrie, 7 – 6 – 12)